TEKNOLOGI NEWS UPDATE - Tombol Volume Android Kini Bisa Jadi Security Key Akun Google


Teknologi News Update, Jakarta - Google dilaporkan akan makin memudahkan pengguna Android untuk melakukan verifikasi dua langkah (two-step verification).
Jadi, pengguna Android 7 Nougat dan versi ke atas dapat memakai tombol fisik di perangkatnya untuk melakukan verifikasi saat masuk akun Google.
Dikutip dari Engadget, Sabtu (13/4/2019), fungsi ini dapat digunakan, saat pengguna Android ingin masuk ke akun Google dari peramban Chrome.

BACA JUGA :
PT RIFAN FINANCINDO - Komoditas Emas Akan Jadi Primadona 
RIFAN FINANCINDO - Investasi Emas Masih Primadona di Tahun Politik
PT RIFAN FINANCINDO BERJANGKA - Emas masih akan Menjadi Komoditas Paling Menarik untuk Investasi Berjangka Tahun ini 
PT RFB - Berikan Gambaran Investasi di Tahun 2019, RFB Gelar Investment Outlook
    Dengan fitur ini, Google memungkinkan pengguna menekan tombol volume di perangkat Android miliknya untuk melakukan verifikasi proses log-in.
    Namun sebelum memakainya, pengguna harus mengaktifkan fitur ini terlebih dulu. Fitur ini kompatibel dengan peramban Chrome di perangkat Chrome OS, macOS, dan Windows 10.
    Setelah itu, pengguna harus memastikan bahwa perangkat yang menjalankan peramban Chrome sudah mendukung Bluetooth. Lalu, pengguna tinggal mengaktifkan two-step verification.
    Nantinya, fitur ini akan bekerja untuk akun Google standar dan bisnis. Meski bukan satu-satunya metode baru, tapi cara ini jelas membantu pengguna untuk log-in lebih cepat di akun Google miliknya.

    Google Sebut Keamanan Ekosistem Android Meningkat

    Sebelumnya, Google baru saja merilis laporan tahunan keamanan dan privasi dari platform-nya. Dalam laporan ini, perusahaan raksasa mesin pencari itu menyebut secara keseluruhan kesehatan ekosistem Android telah meningkat.
    Meski meningkat, persentase unduhan aplikasi yang berpotensi berbahaya (PHA) ternyata naik. Data menunjukkan, jumlah unduhan aplikasi itu naik menjadi 0,04 persen pada 2018, dari sebelumnya 0,02 persen pada 2017.
    Namun, Google menyebut jumlah aplikasi berpotensi berbahaya secara keseluruhan naik ini disebabkan fraud sekarang dimasukkan dalam PHA.
    "Jika kami menyingkirkan jumlah klik fraud dari statistik ini, data menunjukkan PHA di Google Play turun 31 persen dari tahun ke tahun," tulis laporan seperti dikutip dari Engadget, Kamis (4/4/2019).
    Laporan itu juga menyebut, pemasangan PHA di perangkat Android sudah menurun. Pada 2018, jumlah PHA yang terpasang di perangkat Android hanya 0,45 persen, turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 0,56 persen.
    Program Google Play Protect juga diklaim berhasil mencegah 1,6 juta PHA yang berasal di luar Google Play. Namun, Google tidak mengungkap detail jumlah pemasangan PHA dari Google Play.
    Perlu diingat, upaya Google untuk melindung ekosistem di Android memang tidak mudah. Oleh sebab itu, perusahaan merilis program Google Play Protect pada 2017 untuk memindai lebih dari 50 juta miliar aplikasi per hari.
    Raksasa internet juga sempat melakukan sejumlah peningkatan kemampuan program Google Play Protect pada 2018. Ketika itu, Google meningkatkan kemampuan machine-learning dari sistem tersebut.

    Aplikasi Antivirus Abal-Abal Marak Beredar di Google Play Store

    Terlepas dari hal itu, berdasarkan laporan yang dilakukan oleh perusahaan pengujian antivirus, AV-Comparative via ZDNet, dua pertiga dari 250 aplikasi antivirus Android yang diuji ternyata abal-abal atau palsu.
    Untuk membuktikan kemampuan antivirus tersebut, perusahaan mengujinya dengan memasukkan malware ke dalam perangkat untuk melihat apakah aplikasi dapat mendeteksi dan mengatasinya.
    Dari 250 aplikasi yang diuji dengan malware tersebut, hanya 80 yang mampu mendeteksi dan mengatasinya.
    Namun demikian, ke-80 aplikasi itu hanya dapat mendeteksi lebih dari 30 persen dari malware, yang berarti hal tersebut sedikit berhasil.
    Perusahaan juga menemukan, beberapa aplikasi ini tidak mampu menandai malware. Alih-alih, aplikasi hanya mengandalkan informasi malware yang sudah terdaftar.
    Ini berarti, beberapa malware hanya terdeteksi berbahaya jika namanya muncul di dalam daftar program berbahaya yang tersimpan di dalam aplikasi antivirus abal-abal tersebut.
    Tak hanya itu, mereka juga menemukan fakta sejumlah aplikasi yang tidak berfungsi ini dibuat oleh programmer yang sama.

    Sumber : Liputan 6

    Comments